Borobudur Writers & Cultural Festival 2017 Menguak Gandawyuha

Borobudur Writers & Cultural Festival 2017 Menguak Gandawyuha
Seno Joko Suyono dan Romo Mudji Sutrisno dalam acara konferensi pers di Jakarta, tentang penyelenggaraan kegiatan Borobudur Writers & Cultural Festival 2017.

JAKARTA, Pelitajakarta.com – Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2017 dengan tema Gandawyuha dan Pencarian Religiusitas Agama-agama Nusantara, digelar pada 23-25 November 2017 di Yogyakarta dan Magelang. Perhelatan BWCF 2017 merupakan upaya mengangkat khazanah pengetahuan dan peradaban nusantara ini, melalui berbagai kegiatan, mulai dari seminar, pentas kolaborasi tari-rupa-musik, pembacaan puisi, pertunjukan musik, pemutaran film, pameran foto, pesta buku dan kegiatan meditasi pagi.

Seno Joko Suyono, jurnalis sekaligus penggagas kegiatan Borobudur Writers & Cultural Festival, menjelaskan kegiatan tahun ini merupakan yang ke-6 kalinya sejak tahun 2012. “Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini kami juga akan memberikan penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award kepada Prof. Dr Noerhadi Magetsari atas penelitiannya terhadap konsep-konsep Ketuhanan dalam Borobudur. Jadi beliau ini pada tahun 80an menerbitkan satu buku, yang menurut kami buku ini luar biasa sekali, berjudul Konsepsi Kefilsafatan dan Ketuhanan dalam Candi Borobudur,” jelas Seno, di Jakarta, Selasa (14/11/2017).

Seno menilai buku yang merupakan disertasi filsafat sang arkeolog tersebut dapat dikatakan sebagai satu-satunya buku yang sangat luas mengupas dari filsafat sehingga kita dapat inti pemikiran yang melandasi pembuatan Borobudur.

Lebih lanjut Seno menjelaskan, BWCF memang merupakan suatu forum yang berfokus untuk mempelajari sastra klasik nusantara. Karena itu, tema-tema yang diangkat dalam perhelatan BWCF selalu berkaitan dengan hal itu. Misalnya, pada tahun 2012 atau BWCF pertama, mengangkat tema Memori dan Imajinasi Nusantara. Tahun 2013, BWCF mengusung tema Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara, antara Kolonial dan Poskolonial’, sedangkan tahun 2014 mengangkat tema ‘Ratu Adil, Kuasa dan Pemberontakan di Nusantara’, BWCF 2015 bertema ‘Gunung, Bencana dan Mitos di Nusantara’ dan BWCF 2016 mengusung tema ‘Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisme dan Religiusitas dalam Kitab-Kitab Nusantara’.

Sementara itu, Romo Mudji Sutrisno menjelaskan tentang tema BWCF 2017 ‘Gandawyuha dan Pencarian Religiusitas Agama-agama Nusantara, secara lebih rinci. Budayawan dan rohaniawan ini menegaskan dari 460 relief Gandawyuha yang dipahatkan pada dinding lorong ke-2, 3 dan 4 di Candi Borobudur, jarang sekali didiskusikan. “Padahal relief ini berbicara tentang suatu pengembaraan pencarian kebenaran yang luar biasa. Relief itu sendiri bisa dipandang sebagai inti Borobudur, sekaligus kunci memahami dimensi ketuhanan Borobudur.”

Diterangkannya, Gandawyuha merupakan kisah esoteris Agama Buddha Mahayana mengenai anak muda bernama Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam mencari pengetahuan dan kebijaksanaan tertinggi. Sudhana melakukan perjalanan religi menemui 53 guru di wilayah India hingga ke seluruh Asia. “Tapi hanya di Borobudur, Sudhana dan perjalanan spiritualnya dipahat di atas batu sedemikian panjang. Ini sebuah misteri yang harus dikuak,” kata Mudji Sutrisno SJ.

Perhelatan BWCF 2017 dilaksanakan di dua kota, yakni Yogyakarta dan Magelang. Acara pembukaan dan penutupan digelar di Yogyakarta, sedangkan untuk seminar akan dilangsungkan di Hotel Manohara, Magelang dengan menghadirkan para pembicara di antaranya; Salim Lee (ahli sutra Gandawyuha), Noerhadi Magetsari (arkeolog), Agus Widiatmoko (arkeolog), Niken Wirasanti (arkeolog), Sudrijanta SJ (romo), Bhikku Santacitto, Oman Fathurahman (filolog), dan sejumlah aktivis serta peneliti, antara lain Sudiarto, Tedi Kholilludin, Mikhael Keraf, Hadi Utomo, Ferry Wira Padang, Laura Romano, Dewi Kanti dan Charles Lamaberaf.